Jumat, 30 Desember 2011

Cerpen bertema sosial

Ketika aku mulai menginjak pendidikan dan mulai bebas berkhayal...
Aku bermimpi ingin mengubah dunia...

Seiring dengan bertambahnya usia dan kearifanku,,
ku dapati bahwa dunia tak kunjung berubah...
Maka cita-cita itu pun agak ku persempit

dan ku putuskan untuk hanya mengubah negeriku...
Ketika aku mulai beranjak dewasa,
hasratku untuk mengubah negeriku sepertinya masih jauh dari pengharapanku...

Dan akhirnya ku hanya berusaha untuk mengubahnya mulai dari diriku dan sekitarku...
Setelah  terlihat perubahannya... Ku kan coba untuk mengubah negeriku... Dan dunia... ;)

Citaku untuknya
Mereka menyebutnya Guru. Guru sang tanpa tanda jasa. Sangat dihormati dan dihargai oleh kehidupan disekitarnya. Tak hanya mengajarkan sesuatu yang baru tapi selalu mendidik untuk selalu bersikap sopan terhadap lingkungannya. Ilmu yang bermanfaat membuatnya selalu dihargai dimanapun berada hingga kelak di alam ke-2. Itu semua inspirasi yang membuatku ingin menjadi seorang guru. Tapi semua itu dapat ku baca karena inspiratorku adalah ibuku.
Saat masa hidupnya beliau berkata “ Jadilah seseorang yang bermanfaat untuk orang lain. Karena kita juga membutuhkan orang lain. Tak ada kata malas untuk melakukan sesuatu hal, bagi PEMENANG tak ada kegagalan, yang ada hanyalah pelajaran”. Kata itu selalu ada dalam setiap detikku. Aku hanya berfikir apa yang bisa ku lakukan untuk orang lain???
Ibu selalu mengajarkan anaknya untuk selalu berbagi selama kita merasa bahwa diri kita mampu. “Wisnu” kakak yang bagiku mewarisi sifat dari ibu. Sifat yang tak tega membuat kakakku selalu membantu orang tanpa melihat karakteristik orang tersebut. Kagum dengannya, tapi semua itu tak mudah.
Universitas negeri di Lampung, ku sedang menjalani aktivitas sehari-hari sebagai mahasiswa. Ku kerahkan semua kemampuanku untuk menggapai semua angan yang ada dibenakku dan harapan keluargaku. Aku mengambil strata satu di fakultas pendidikan dan ilmu pengetahuan. Pilihan ini aku ambil karena sang inspiratorku. Ku ingin sepertinya dan mungkin lebih baik darinya agar ku bisa menjadi kebanggannya.
Keinginan yang membuatku semangat untuk menjalani aktivitas ini. Di kampus hijau itu ku banyak bertemu dengan sanak saudara dari nabi kita. Setiap harinya ku melihat banyak orang beraktivitas selain menjadi mahasiswa. Banyak dari mereka mencari rezeki, mulai dari berdagang dikantin, berjualan makan keliling, penjual koran sampai pemulung. Hati ini kadang merasa teriris ketika melihat sosok penjual koran atau bahkan pemulung yang menurutku tak semestinya mereka melakukan itu. Mereka sosok yang manis dan menurutku bisa untuk melakukan hal yang lebih baik.
Ingin sekali rasanya menjabat tangan mereka untuk bersama melangkah menuju yang lebih baik. Tapi apa yang bisa ku lakukan saat ini, aku yang juga tak lebih dari sederhana tak bisa berbuat apa-apa. Mereka membuatku terinspirasi untuk menjadi orang lebih baik.
Keinginan untuk tahu kehidupan mereka, pernah sempat ku ajak bercengkrama salah satu penjual koran yang usianya masih kisaran sepuluh tahun itu yang awalnya aku memanggil dia karena ingin membeli korannya ”Dek, sini…korannya donk satu”. Seperti halnya orang yang baru pertama bercengkrama, aku menanyakan namanya. “Jatmiko, namaku kak”. Karena rasa ingin tahuku tentang kehidupannya, aku mengajak Jatmiko untuk ngobrol denganku sebentar. “Sini sih dek,,mb pengen ngobrol sebentar” sapa ku ketika ia hendak pergi setelah ku menanyakan namanya. “Kenapa kak???” sahutnya. “Kamu jualan koran pagi-pagi  begini memangnya kamu ga sekolah ya dek” ku menanyakan dengan mimik penasaran. Jatmiko pun menjawab,”Sekolah donk kak….”
“klo kamu sekolah,,, kenapa kamu jualan Koran??? Trus kapan kamu sekolahnya???”
“ Saya sekolahnya siang… Saya jualan seperti karena saya ga punya duit kak buat ongkos+jajan saya klo disekolah”
“Memangnya orang tua kamu ga ngasih uang untuk kamu pergi sekolah atau untuk kamu jajan???”
“Ga kak…. Ibu hanya kerja sebagai tukang gorengan dan bapak saya hanya kerja serabutan..”
“Kamu sekolah kelas berapa dek”
“Kelas 5 kak”
“ Pelajaran apa yang kamu sukai klo lagi disekolah????”
“Matematika kak…”
“Pinter donk ya matematikanya…??? Trus cita-cita kamu apa???”
“Aku pengen jadi polisi kak”
“Oya..trus klo kamu buat berangkat sekolah aja mesti jualan koran dulu biar bisa bayar angkot… Gimana kamu beli buku dek????”
“Aku ga punya buku kak,,, klo ada PR aku pinjem buku temen dan menyalin soal dari buku itu…”
“Trus kamu ga pernah belajar donk????”
“Ya belajarnya dari buku tulis yang aku punya dan aku selalu belajar apa yang diajarin guru saat disekolah”
“Ooohh gtu… Semangat ya dek buat mengejar mimpimu itu.. Allah pasti akan member jalan jika kamu benar-benar berusaha untuk meraihnya. Jika kamu merasa hilang semangat, pertama yang kamu ingat adalah orang tua, dengan begitu kamu bakal semangat lagi karena kamu harus punya pendirian untuk selalu bikin bangga mereka”
Keceriaan Jatmiko bersama teman-temannya

Terenyuh ketika aku mendengar kisah Jatmiko. Semangatnya begitu besar untuk mencapai cita-citanya namun keadaan membuat dia harus berjualan koran untuk menggapainya.
Ada sosok penjual koran yang lain yang membuatku merasa bersyukur dengan keadaanku sekarang. Inilah kehidupan, kisah seorang penjual Koran bernama Shifa. Gadis ini kurang beruntung hidupnya hanya sebatang kara. Setiap harinya ia selalu berjualan koran untuk menghidupin dirinya, usianya masih terlalu dini 12 tahun. Dan pendidikan terakhirnya hanya cukup untuk membuatnya membaca.
Aku hanya bingung, bagaimana bisa Shifa menjalani hidup tanpa ada yang memberi semangat? Hanya berfikir, apa aku bisa jika menjadi adik kecil itu??? Ku sempat menanyakan kehidupannya seperti yang ku lakukan kepada Jatmiko. Ketika aku sedang bersama Shifa, aku sedang memegang sebuah novel. Shifa melihat sampul novelku seperti hendak ingin membacanya. Aku pun langsung menanyakan kepadanya “ Apakah kamu ingin membacanya dek??” dan dengan senyum lebarnya Shifa menjawab “Ya kak…”. Aku pun meminjamkannya untuk dibawa pulang dengan syarat harus dikembalikan lagi. Keesokan harinya dengan semangat berlari dari kejauhan Shifa menghampiriku untuk mengembalikan novel tersebut.
Ketika itu, aku pun sedang memegang novel dengan judul lain. Shifa pun kembali melirik judul novel tersebut. Tanpa rasa segan, dia meminta izin untuk meminjam novel lagi. Dengan semangat dia seperti itu, aku pun kembali meminjamkannya. Kita pun semakin akrab karena rutinitas kita yang sering bertemu. Hobi dia yang selalu ingin membaca, akhirnya ketika aku berada dalam keramaian bazar buku, aku membelikan dia sebuah novel. Ketika ku memberikan novel itu, gadis itu tersenyum kegirangan hingga melompat-lompat. Aku pun ikut merasa senang melihat senyumnya.
Dari kisah-kisah tukang koran citaku yang ingin selalu membantu orang lain semakin meluas. Citaku ini ingin benar-benar ku laksanakan dengan keinginan membuka yayasan belajar atau taman baca gratis untuk mereka yang kurang beruntung ketika aku sudah sukses nantinya. Ketika citaku ini menjadi nyata, mungkin ini yang bisa kupersembahkan buat almarhum karena penyesalanku yang tak bisa membalas semua pengorbanan beliau kepada ku semasa hidupnya. Kini ku rasakan bahwa didikan ibu membuatku untuk lebih mandiri dan membuatku hidup lebih bermakna untuk orang lain.

Profil: Penulis bernama Wahyu Cahya Kumala lahir di Desa Mataram Kecamatan Gadingrejo pada tanggal 18 Oktober 1991. Anak bungsu dari 3 bersaudara. Setiap hari menjalani aktivitas sebagai mahasiswa Pendidikan Fisika di Universitas Lampung. Cita-citaku ingin jadi pahlawan tanpa tanda jasa. Hidup ini lebih bermakna ketika kita bisa membantu sesama. “Tak ada kata menyerah untuk mencapai sesuatu yang kita inginkan. Bagi PEMENANG tak ada kegagalan, yang ada hanyalah pelajaran.” Hobiku bukan menulis namun aku suka bercerita dalam bentuk tulisan. Jadi harap maklum jika tulisan ini tidaklah sempurna.




Rabu, 28 Desember 2011